Untuk
tokoh ini dalam sudut pandang Yahudi dan Kristen, lihat Ismael.
Isma'il (Arab: إسماعيل) (sekitar 1911-1779 SM) adalah seorang nabi dalam kepercayaan agama Islam.
Isma'il adalah putera dari Ibrahim dan Hajar,
kakak tiri dari Ishaq.
Ia diangkat menjadi nabi pada tahun 1850 SM. Ia tinggal di Amaliq dan berdakwah untuk penduduk
Al-Amaliq, bani Jurhum dan Qabilah Yaman.
Namanya disebutkan sebanyak 12 kali dalam Al-Quran. Ia meninggal pada tahun 1779 SM di
Mekkah.
Secara tradisional ia dianggap
sebagai "Bapak Bangsa Arab", sedangkan menurut Sa'id bin Yahya al
Umawiy dalam kitabnya al
Maghazi menuliskan bahwa
Isma'il belajar bahasa Arab dari bangsa Arab yang singgah di Makkah dari
kalangan di mana ia diutus sebagai nabi. Maka bisa diambil kesimpulan bahwa
Isma'il bukanlah nenek moyang bangsa Arab.
Etimologi
Isma'il berasal dari dua kata
"dengarkan" (ishma' استمع) dan "Tuhan" (al/il ايل), yang artinya "Dengarkan (doa kami wahai) Tuhan."[1]
Genealogi
Isma'il bin Ibrahim menikah
dengan Imarah binti Sa'd bin Usamah bin Aqil al-Amaliqiy, kemudian ayahnya
memerintahkan Isma'il untuk menceraikan Imarah, lalu menikah lagi dengan
Sayyidah binti Madhadh bin Amr al-Jurhumiy. Pernikahan dengan Meriba dan
Malchut, diketahui memiliki sejumlah anak dan hanya ada seorang anak wanita
yang bernama Bashemath.[2] Menurut
Umar bin Abdul Aziz bahwa bangsa Arab Hijaz seluruh nasabnya kembali pada kedua
anaknya Nabit dan Qaidzar.
Kisah Isma`il
Nabi Ibrahim yang berhijrah
meninggalkan Mesir bersama Sarah, istrinya dan Hajar,
dayangnya di tempat tujuannya di Israel. Ia telah membawa pindah juga semua
hewan ternaknya dan harta miliknya yang telah diperolehnya sebagai hasil usaha
dagangnya di Mesir. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata:
"Pertama-tama
yang menggunakan setagi {setagen} ialah Hajar ibu Nabi Isma'il tujuan untuk
menyembunyikan kandungannya dari Sarah yang telah lama berkumpul dengan Nabi
Ibrahim tetapi belum juga hamil. Tetapi walaubagaimana pun juga akhirnya
terbukalah rahasia yang disembunyikan itu dengan lahirnya Nabi Isma'il dan
sebagai lazimnya seorang istri sebagai Sarah merasa telah dikalahkan oleh Hajar
sebagai seorang dayangnya yang diberikan kepada Nabi Ibrahim dan sejak itulah
Sarah merasakan bahawa Nabi Ibrahim lebih banyak mendekati Hajar kerana merasa
sangat gembira dengan puteranya yang tunggal dan pertama itu, hal ini yang
menyebabkan permulaan ada keratakan dalam rumahtangga Nabi Ibrahim sehingga
Sarah merasa tidak tahan hati jika melihat Hajar dan minta pada Nabi Ibrahim
supaya menjauhkannya dari matanya dan menempatkannya di lain tempat."
Untuk sesuatu hikmah yang belum
diketahui dan disadari oleh Nabi Ibrahim, Allah mewahyukan kepadanya agar keinginan
dan permintaan Sarah istrinya dipenuhi dan dijauhkanlah Isma'il bersama Hajar
ibunya dan Sarah ke suatu tempat di mana yang ia akan tuju dan di mana Isma'il
puteranya bersama ibunya akan ditempatkan dan kepada siapa akan ditinggalkan.
Maka dengan tawakkal kepada Allah berangkatlah Nabi Ibrahim meninggalkan
rumah membawa Hajar dan Isma'il yang diboncengkan di atas untanya tanpa tempat tujuan yang tertentu. Ia
hanya berserah diri kepada Allah yang akan memberi arah kepada binatang
tunggangannya. Dan berjalanlah unta Nabi Ibrahim dengan tiga hamba Allah
yang berada di atas punggungnya keluar kota masuk ke lautan pasir dan padang
terbuka di mana terik matahari dengan
pedihnya menyengat tubuh dan angin yang kencang menghambur-hamburkan debu-debu
pasir.
Perintah meninggalkan
Isma'il dan Hajar di Makkah
Setelah berminggu-minggu berada dalam
perjalanan jauh yang melelahkan, tibalah Nabi Ibrahim bersama Isma'il dan
ibunya di Makkah kota
suci di mana Kaabah didirikan
dan menjadi kiblat umat muslim dari seluruh dunia. Di tempat di mana Masjidil
Haram sekarang berada, berhentilah unta Nabi Ibrahim mengakhiri perjalanannya
dan di situlah ia meninggalkan Hajar bersama puteranya dengan hanya
dibekali dengan serantang bekal makanan dan minuman sedangkan keadaan
sekitarnya tiada tumbuh-tumbuhan, tiada air mengalir, yang terlihat hanyalah
batu dan pasir kering.
Alangkah sedih dan cemasnya Hajar
ketika akan ditinggalkan oleh Ibrahim seorang diri bersama dengan anaknya yang
masih kecil di tempat yang sunyi senyap dari segala-galanya kecuali batu gunung
dan pasir. Ia seraya merintih dan menangis, memegang kuat-kuat baju Nabi
Ibrahim memohon belas kasihnya, janganlah ia ditinggalkan seorang diri di
tempat yang kosong itu, tiada seorang manusia, tiada seekor binatang, tiada
pohon dan tidak terlihat pula air mengalir, sedangkan ia masih menanggung beban
mengasuh anak yang kecil yang masih menyusu.
Nabi Ibrahim mendengar keluh kesah
Hajar merasa tidak tega meninggalkannya seorang diri di tempat itu bersama
puteranya yang sangat disayangi akan tetapi ia sadar bahwa apa yang
dilakukannya itu adalah kehendak Allah yang tentu mengandung hikmat yang masih
terselubung baginya dan ia sadar pula bahwa Allah akan melindungi Isma'il dan
ibunya dalam tempat pengasingan itu dari segala kesukaran dan penderitaan. Ia
berkata kepada Hajar:
"Bertawakal-lah
kepada Allah yang telah menentukan kehendak-Nya, percayalah kepada
kekuasaan-Nya dan rahmat-Nya. Dialah yang memerintah aku membawa kamu ke sini
dan Dialah yang akan melindungimu dan menyertaimu di tempat yang sunyi ini.
Sesungguh kalau bukan perintah dan wahyu-Nya, tidak sesekali aku tega
meninggalkan kamu di sini seorang diri bersama puteraku yang sangat kucintai
ini. Percayalah wahai Hajar, bahwa Allah Yang Maha Kuasa tidak akan melantarkan
kamu berdua tanpa perlindungan-Nya. Rahmat dan barakah-Nya akan tetap turun di
atas kamu untuk selamanya, insya-Allah."
Mendengar kata-kata Ibrahim itu
segeralah Hajar melepaskan genggamannya pada baju Ibrahim dan dilepaskannyalah
dia menunggang untanya kembali ke Palestina dengan
iringan air mata yang bercurahan membasahi tubuh Isma'il yang sedang menetak.
Sedang Nabi Ibrahim pun tidak dapat menahan air matanya ketika ia turun dari
dataran tinggi meninggalkan Makkah menuju kembali ke Palestina di mana istrinya
Sarah sedang menanti. Ia tidak henti-henti selama dalam perjalanan kembali
memohon kepada Allah perlindungan, rahmat dan barakah serta kurnia rezeki bagi
putera dan ibunya yang ditinggalkan di tempat terasing itu.
Ia berkata dalam doanya:" Wahai
Tuhanku! Aku telah tempatkan puteraku dan anak-anak keturunannya di dekat
rumah-Mu (Baitullah)
di lembah yang sunyi dari tanaman dan manusia agar mereka mendirikan shalat dan
beribadat kepada-Mu. Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan
yang lezat, mudah-mudahan mereka bersyukur kepada-Mu."
Kemunculan mata air Zam-zam
Suatu hari, Hajar pergi berlari
tergesa-gesa menuju bukit Shafa dengan mengharapkan mendapatkan
sesuatu yang dapat menolongnya, tetapi hanya batu dan pasir yang didapatnya di
situ, kemudian dari bukit Shafa ia melihat bayangan air yang mengalir
di atas bukit Marwah dan
larilah ia berharwahlah ke tempat itu namun ternyata bahwa yang disangkanya air
adalah fatamorgana {bayangan}
belaka dan kembalilah ke bukit Shafa karena mendengar seakan-akan ada suara
yang memanggilnya tetapi gagal dan melesetlah dugaannya. Demikianlah maka
karena dorongan keinginan hidupnya dan hidup anaknya yang sangat disayangi,
Hajar mondar-mandir berlari sampai tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah
yang pada akhirnya ia duduk termenung merasa capai dan hampir berputus asa.
Diriwayatkan bahwa selagi Hajar
berada dalam keadaan tidak berdaya dan hampir berputus asa kecuali dari rahmat
Allah dan pertolongan-Nya datanglah kepadanya malaikat Jibril, kemudian diajaklah Hajar mengikutinya
pergi ke suatu tempat di mana Jibril menginjakkan telapak kakinya kuat-kuat di
atas tanah dan segeralah memancur dari bekas telapak kaki itu air yang jernih dengan kuasa Allah. Itulah
dia mata air zam-zam yang
sehingga kini dianggap suci oleh jemaah haji,
berdesakan sekelilingnya untuk mendapatkan setitik atau seteguk air daripadanya
dan karena sejarahnya mata air itu disebut orang "Injakan Jibril".
Ada juga yang mengatakan itu bekas air mata nabi Isma'il.
Alangkah gembiranya dan lega dada
Hajar melihat air yang mancur itu. Segera ia membasahi bibir puteranya dengan
air suci itu dan segera pula terlihat wajah puteranya segar kembali, demikian
pula wajah si ibu yang merasa sangat bahagia dengan datangnya mukjizat dari
sisi Tuhan yang mengembalikan kesegaran hidup kepadanya dan kepada puteranya
sesudah dibayang-bayangi oleh bayangan mati kelaparan yang mencekam dada.
Perintah pengurbanan Isma'il
Tiada keragu-raguan antara siapa yang
di korbankan Ibrahim sebab Allah telah berfirman dalam Al-Quran, bahwa Isma'il lah yang dikorbankan.[3] Nabi
Ibrahim dari masa ke semasa pergi ke Makkah untuk mengunjungi dan menjenguk
Isma'il di tempat pengasingannya bagi menghilangkan rasa rindu hatinya kepada
puteranya yang ia sayangi serta menenangkan hatinya yang selalu rungsing bila
mengenangkan keadaan puteranya bersama ibunya yang ditinggalkan di tempat yang
tandus, jauh dari masyarakat kota dan pengaulan umum.
Sewaktu Nabi Isma'il mencapai usia
remajanya Nabi Ibrahim mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih Isma'il
puteranya dan mimpi seorang nabi adalah salah satu dari cara-cara turunnya wahyu Allah, maka perintah yang diterimanya
dalam mimpi itu harus dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim. Ia duduk sejurus
termenung memikirkan ujian yang maha berat yang ia hadapi. Sebagai seorang ayah
yang dikurniai seorang putera yang sejak puluhan tahun diharap-harapkan dan
didambakan, seorang putera yang telah mencapai usia di mana jasa-jasanya sudah
dapat dimanfaatkan oleh si ayah, seorang putera yang diharapkan menjadi
pewarisnya dan penyampung kelangsungan keturunannya, tiba-tiba harus dijadikan
qurban dan harus direnggut nyawa oleh tangan si ayah sendiri.
Namun ia sebagai seorang Nabi, pesuruh
Allah dan pembawa agama yang seharusnya menjadi contoh dan
teladan bagi para pengikutnya dalam bertaat kepada Allah, menjalankan segala
perintah-Nya dan menempatkan cintanya kepada Allah di atas cintanya kepada
anak, istri, harta benda dan lain-lain. Ia harus melaksanakan perintah Allah
yang diwahyukan melalui mimpinya, apa pun yang akan terjadi sebagai akibat
pelaksanaan perintah itu.
Sungguh amat berat ujian yang
dihadapi oleh Nabi Ibrahim, namun sesuai dengan firman Allah yang bermaksud:
"Allah lebih mengetahui di mana dan kepada siapa Dia mengamanatkan
risalahnya". Nabi Ibrahim tidak membuang masa lagi, berazam (niat) tetap
akan menyembelih Nabi Isma'il puteranya sebagai qurban sesuai dengan perintah
Allah yang telah diterimanya, dan berangkatlah serta merta Nabi Ibrahim menuju
ke Makkah untuk menemui dan menyampaikan kepada puteranya apa yang Allah
perintahkan.
Kisah ini dikisahkan oleh Allah pada
salah satu ayat-Nya, yang berbunyi:
“
|
Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu! (Ash-Shaffaat 102)
|
”
|
Nabi Isma'il sebagai anak yang soleh
yang sangat taat kepada Allah dan bakti kepada orang tuanya, ketika diberitahu
oleh ayahnya maksud kedatangannya kali ini tanpa ragu-ragu dan berfikir panjang
berkata kepada ayahnya:
“
|
Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Ash-Shaaffaat 102)
|
”
|
Aku hanya meminta dalam melaksanakan
perintah Allah itu, agar ayah mengikatku kuat-kuat supaya aku tidak banyak
bergerak sehingga menyusahkan ayah, kedua agar menanggalkan pakaianku supaya
tidak terkena darah yang akan menyebabkan berkurangnya pahalaku dan terharunya
ibuku bila melihatnya, ketiga tajamkanlah parangmu dan percepatkanlah
perlaksanaan penyembelihan agar meringankan penderitaan dan rasa pedihku,
keempat dan yang terakhir sampaikanlah salamku kepada ibuku berikanlah
kepadanya pakaian ku ini untuk menjadi penghiburnya dalam kesedihan dan tanda
mata serta kenang-kenangan baginya dari putera tunggalnya."
Kemudian dipeluknyalah Isma'il dan
dicium pipinya oleh Nabi Ibrahim seraya berkata: "Bahagialah aku mempunyai
seorang putera yang taat kepada Allah, bakti kepada orang tua yang dengan
ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah".
Saat penyembelihan yang mengerikan
telah tiba. Diikatlah kedua tangan dan kaki Isma'il, dibaringkanlah ia di atas
lantai, lalu diambillah parang tajam
yang sudah tersedia dan sambil memegang parang di tangannya, kedua mata nabi
Ibrahim yang tergenang air berpindah memandang dari wajah puteranya ke parang
yang mengilap di tangannya, seakan-akan pada masa itu hati dia menjadi tempat
pertarungan antara perasaan seorang ayah di satu pihak dan kewajiban seorang
rasul di satu pihak yang lain. Pada akhirnya dengan memejamkan matanya, parang
diletakkan pada leher Nabi Isma'il dan penyembelihan di
lakukan . Akan tetapi apa daya, parang yang sudah demikian tajamnya itu
ternyata menjadi tumpul dileher Nabi Isma'il dan tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya dan sebagaimana diharapkan.
Kejadian tersebut merupakan suatu
mukjizat dari Allah yang menegaskan bahwa perintah perkorbanan Isma'il itu hanya
suatu ujian bagi Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il sampai sejauh mana cinta dan
taat mereka kepada Allah. Ternyata keduanya telah lulus dalam ujian yang sangat
berat itu. Nabi Ibrahim telah menunjukkan kesetiaan yang tulus dengan
perkorbanan puteranya. untuk berbakti melaksanakan perintah Allah sedangkan
Nabi Isma'il tidak sedikit pun ragu atau bimbang dalam memperagakan
kebaktiannya kepada Allah dan kepada orang tuanya dengan menyerahkan jiwa
raganya untuk dikorbankan, sampai-sampai terjadi seketika merasa bahwa parang
itu tidak lut memotong lehernya, berkatalah ia kepada ayahnya:" Wahai
ayahku! Rupa-rupanya engkau tidak sampai hati memotong leherku karena melihat
wajahku, cubalah telangkupkan aku dan laksanakanlah tugasmu tanpa melihat
wajahku. "Akan tetapi parang itu tetap tidak berdaya mengeluarkan setitik darah pun dari daging Isma'il walau ia telah
ditelangkupkan dan dicuba memotong lehernya dari belakang.
Dalam keadaan bingung dan sedih hati,
kerana gagal dalam usahanya menyembelih puteranya, datanglah kepada Nabi
Ibrahim wahyu Allah dengan firmannya:
“
|
Hai
Ibrahim, sesungguhnya kamu telah melaksanakan mimpi itu. Sesungguhnya
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. (Ash-Shaaffaat 104-106)
|
”
|
Kemudian sebagai tebusan ganti nyawa,
Isma'il telah diselamatkan itu, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih
seekor domba yang telah tersedia di sampingnya dan
segera dipotong leher kambing itu oleh dia dengan parang yang tumpul di leher
puteranya Isma'il itu, dan inilah asal permulaan sunnah berqurban
yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap Hari Raya Idul Adha di seluruh pelosok dunia.
Isma'il membantu ayahnya
membangun Kaabah
Nabi Isma'il dibesarkan di Makkah
(pekarangan Kaabah). Apabila dewasa dia menikah dengan wanita dari Suku
Jurhum. Walaupun tinggal di Makkah, Isma'il sering dikunjungi
ayahnya.
Sekitar tahun 1892 SM, ayahnya menerima wahyu dari Allah agar membangun Kaabah. Hal itu disampaikan kepada anaknya.
Isma'il berkata: “Kerjakanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu kepadamu dan aku
akan membantumu dalam pekerjaan mulia itu.” Ketika membangun Kaabah, Nabi
Ibrahim berkata kepada Isma'il: “Bawakan batu yang baik kepadaku untuk aku
letakkan di satu sudut supaya ia menjadi tanda kepada manusia.” Kemudian Jibril
memberi ilham kepada Isma'il supaya mencari batu hitam untuk diserahkan kepada
Nabi Ibrahim. Setiap kali bangun, mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, terimalah
daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” Bangunan (Kaabah) itu menjadi tinggi dan Ibrahim makin lemah untuk
mengangkat batu. Dia berdiri di satu sudut, kini dikenali Maqam Ibrahim.
Isma'il menceraikan istrinya
Nabi Ibrahim sering berulang kali
mengunjungi anaknya. Pada satu hari, dia tiba di Makkah dan mengunjungi rumah
anaknya. Suatu ketika, Isma'il tiada di rumah saat itu tidak ada siapapun
melainkan istrinya. Istri Isma'il tidak mengenali bahwa orang tua itu adalah
mertuanya (bapaknya Isma'il). Apabila Nabi Ibrahim bertanya istri Nabi Isma'il
mengenai suaminya itu, dia diberitahu anaknya keluar berburu. Seterusnya Nabi
Ibrahim bertanya keadaan mereka berdua. Istrinya berkata: “Kami berada dalam
kesempitan.” Nabi Ibrahim berkata: “Apakah kamu mempunyai jamuan, makanan dan
minuman?” Dijawab istri Isma'il: “Aku tidak mempunyainya, malah apa pun tiada.” Kelakukan
istri Nabi Isma'il itu tidak manis dipandang Nabi Ibrahim karena kelihatan
tidak terima dengan pemberian Allah dan jemu untuk hidup bersama suaminya.
Malah, dia kelihatan bersifat kikir karena tidak menginginkan kedatangan tamu.
Akhirnya Nabi Ibrahim berkata kepada istri anaknya: “Jika suamimu kembali,
sampaikanlah salamku kepadanya dan katakan kepadanya supaya dia menggantikan
pintunya.”
Selepas itu Nabi Ibrahim pergi dari
situ. Sejurus kemudian, Nabi Isma'il pulang ke rumah dengan hati gembira karena
dia menganggap tidak ada hal yang tidak diingini terjadi sepanjang ketiadaannya
di rumah. Nabi Isma'il bertanya kepada istrinya: “Apakah ada orang datang
menemui kamu?” Istrinya berkata: “Ya, ada orang tua yang
kunjungi kita.” Isma'il berkata: “Apakah dia mewasiatkan sesuatu kepadamu?”
Istrinya berkata: “Ya, dia menyuruhku menyampaikan salam kepadamu dan memintaku
mengatakan kepadamu supaya menggantikan pintumu.” Isma'il
berkata: “Dia adalah bapakku. Sesungguhnya dia menyuruhku supaya menceraikanmu,
maka kembalilah kepada keluargamu.” Selepas menceraikan
istrinya, Nabi Isma'il menikah lagi, kali ini dengan seorang lagi wanita dari
Suku Jurhum. Istri baru itu mendapat keredaan bapaknya karena pandai menghormati
tamu, tidak menceritakan perkara yang menjatuhkan martabat suami dan bersyukur
atas nikmat Allah. Isma'il hidup bersama istri barunya itu hingga melahirkan
beberapa anak.
Nabi Isma'il mempunyai 12 anak lelaki
dan seorang anak perempuan Bashemath, yang dinikahkan dengan anak saudaranya
(keponakan), yaitu Al-’Aish bin Ishaq. Dari keturunan Nabi Isma'il
lahir Nabi Muhammad. Keturunan Nabi Isma'il juga menurunkan bangsa Arab
Musta’ribah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar